Minggu, 08 Januari 2012

KAA 2

Menindaklanjuti hasil kesepakatan Konferensi Kolombo dan hasil kunjungan ke-14 negara Asia Afrika yang sebagian besar mendukung usulan ini. Maka, Perdana Menteri Indonesia mengundang kembali para perdana menteri peserta Konferensi Kolombo, Perdana Menteri U Nu dari Birma, Sir John Kotelawala dari Ceylon, Jawaharlal Nehru dari India, dan Muhammad Ali Pakistan diundang oleh Alisastroamijoyo ke Indonesia untuk mengadakan Konferensi Bogor. Konferensi yang berlangsung pada 28–19 Desember 1954 ini, diadakan sebagai persiapan Konferensi Asia Afrika. Konferensi tersebut berhasil merumuskan kesepakatan tentang tujuan, waktu, tingkat delegasi yang diminta hadir, agenda, dan negara yang diundang dalam Konferensi Asia Afrika. Ditetapkan bahwa Konferensi Asia Afrika akan berlangsung pada akhir minggu bulan April tahun 1955. Presiden Soekarno kala itu, menunjuk Kota Bandung sebagai tempat berlangsungnya konferensi tersebut. Satu hal yang menarik adalah diundangnya Cina sebagai peserta KAA. Mengapa Cina yang berpaham komunis dimasukkan ke dalam peserta konferensi..? Usulan ini tentu awalnya mendapat kecaman.
"...Foto Suasana Jalannya Acara Pembukaan Konferensi Asia Afrika...."
Menanggapi kecaman itu, Birma mengancam akan mengundurkan diri dari Konferensi jika Cina tidak diundang. Hal ini tentu menggelisahkan negara-negara sponsor lainnya. Presiden Soekarno memberi pertimbangan bahwa kehadiran Cina bisa membawa kesuksesan bagi KAA. Pertama, Cina adalah aset yang besar bagi Asia. Sebab, sebagian besar daratan Asia dan penduduk Asia terkonsentrasi di daratan Cina. Kedua, meskipun Cina adalah negara komunis, namun ia tak merapat ke Kubu Blok Timur yang juga berpaham komunis saat itu. Keikutsertaan Cina ini pun membuktikan bahwa negara-negara di dunia ketiga ini berkomitmen atas cita-citanya berpolitik bebas aktif tanpa mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Pada 18-24 April 1955 Konferensi Asia Afrika pun dilaksanakan, saat itu sedang bulan Ramadhan. Konferensi ini selesai sehari menjelang Idul Fitri. KAA diikut oleh 29 negara. Para delegasi disambut di Bandara Kemayoran, Jakarta. Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun dipilih sebagai tempat penyelenggaraan KAA. Presiden Soekarno lalu mengubah nama Concordia jadi Gedung Merdeka dan Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna jelang pembukaan KAA.
 Bandung..."
para tamu menginap di dua hotel besar di sekitar jalan Asia Afrika, Hotel preanger dan Savoy Homan, plus 12 penginapan di sekitar jalan Cipaganti. Hari pertama perlaksanaan KAA, dilakukan Historical Bandung Walk, yaitu perjalanan para delegasi dari Savoy Homan menuju Gedung Merdeka. Setelah menentukan pimpinan dan sekretaris sidang, yakni Alisastroamijoyo dan Roeslan Abdulgani, acara dilanjutkan dengan pelaksanaan agenda sidang. Sidang dibagi menjadi tiga komite, politik, ekonomi dan sosial budaya. Hasilnya adalah Dasasila Bandung, yang menjadi dasar KAA yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non-Blok. DASASILA BANDUNG
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta azas-azas yang termuat dalam piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa-bangsa.
3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa-bangsa besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain.
5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.
6. a). Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu dari negara-negara besar. b).Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik sesuatu negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hakim atau pun lain-lain cara damai lagi menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Kesuksesan KAA, membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia, ibarat “New Kid on The Block”, yang sudah mampu menunjukkan wibawanya di mata dunia. Keyakinan dan perasaan yang berulang kali didengungkan oleh Bung Karno bagi bangsanya, bahwa bangsa indonesia adalah bangsa yang besar dan bermartabat menular. Mereka yang tadinya ragu dengan konferensi ini menjadi ikut yakin dan optimis. Bangsa-bangsa Asia-Afrika pun menemukan posisinya dalam percaturan politik dunia saat itu. Bukan lagi menjadi sasaran caplokan koloni Blok Barat ataupun Blok Timur yang tak ubahnya pada masa kolonialisme. Tapi mampu tegak di atas kaki sendiri, memiliki pendirian dan sikap sendiri yang dihormati dunia. Suatu sikap yang pantas kita teladani hari ini ketika bangsa ini begitu takut akan gemerlap pergaulan dunia. MERDEKA…!

SEJARAH SINGKAT KONFERENSI ASIA AFRIKA




3.1 Latar Belakang
    Berakhirnya Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan keamanan. Ternyata di beberapa pelosok dunia, terutama di belahan bumi Asia Afrika, masih ada masalah dan muncul masalah baru yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung, bahkan pada tingkat perang terbuka, seperti di Jazirah Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara.
  
    Masalah-masalah tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi maupun kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap blok berusaha menarik negara-negara di Asia dan Afrika agar menjadi pendukung mereka. Hal ini mengakibatkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan yang terselubung di antara kedua blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan tersebut dikenal dengan sebutan "perang dingin".
  
    Timbulnya pergolakan dunia disebabkan pula oleh masih adanya penjajahan di bumi kita ini, terutama di belahan Asia dan Afrika. Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya benua Asia dan Afrika merupakan daerah jajahan bangsa Barat dalam aneka bentuk. Tetapi sej ak tahun 1945, banyak daerah di Asia Afrika menjadi negara merdeka dan banyak pula yang masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di ujung selatan Afrika. Beberapa negara Asia Afrika yeng telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan seperti Indonesia tentang Irian Barat, India dan Pakistan tentang Kashmir, negara-negara Arab tentang Palestina. Sebagian bangsa Arab-Palestina terpaksa mengungsi, karena tanah air mereka diduduki secara paksa oleh pasukan Israel yang dibantu oleh Amerika Serikat.
 Sementara itu bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa Asia Afrika, sedang dilanda kekhawatiran akibat makin dikembangkannya pembuatan senjata nuklir yang bisa memusnahkan umat manusia. Situasi dalam negeri dibeberapa negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa penjajahan (politik devide et impera) dan perang dingin antar blok dunia tersebut.

    Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah¬masalah dunia, namun nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut. Sedangkan kenyataannya, akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini, sebagaian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia Afrika. Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.
3.2 Lahirnya Ide Konferensi
    Keterangan Pemerintah Indonesia tentang politik luar negeri yang disampaikan oleh Perdana Menteri Mr. Ali Sastroamidjojo, di depan parlemen pada tanggal 25 Agustus 1953, menyatakan "Kerja sama dalam golongan negara-negara Asia Arab (Afrika) kami pandang penting benar, karena kami yakin, bahwa kerja sama erat antara negara-negara tersebut tentulah akan memperkuat usaha ke arah tercapainya perdamaian dunia yang kekal. Kerja sama antara negara-negara Asia Afrika tersebut adalah sesuai benar dengan aturan-aturan dalam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menyenangi kerja sama kedaerahan (regional arrangements). Lain dari itu negara¬negara itu pada umumnya memang mempunyai pendirian-pendirian yang sama dalam beberapa soal di lapangan internasional, jadi mempunyai dasar sama (commonground) untuk mengadakan golongan yang khusus. Dari sebab itu kerja sama tersebut akan kami lanjutkan dan pererat". Bunyi pernyataan tersebut mencerminkan ide dan kehendak Pemerintah Indonesia untuk mempererat kerja sama di antara negara¬negara Asia Afrika.

    Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilanka) Sir John Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan infor¬mal di negaranya. Undangan tersebut diterima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang. Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.

Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya pertanyaan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia
"Where do we stand now, we the peoples ofAsia, in this world of ours to day?" ("Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia?"),

kemudian pertanyaan itu dijawab sendiri dengan menyatakan
"We have now indeed arrived at the cross-roads of the history of mankind. It is therefore that we Prime Ministers of five Asian countries are meeting here to discuss those crucial problems of the peoples we represent. There are the very problems which urge Indonesia to propose that another conference be convened wider in scope, between the African andAsian nations. Iam convinced that the problems are not only convened to the Asian countries represented here but also are of equal importance to the African and other Asian countries".
("Kita sekarang berada dipersimpangan jalan sejarah umat manusia. Oleh karena itu kita lima Perdana Menteri negara-negara Asia bertemu di sini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika dan Asia. Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak hanya terjadi di negara-negara Asia yang terwakili di sini, tetapi juga sama pentingnya bagi negara-negara di Afrika dan Asia lainnya").

Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika.
   

    Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua peserta konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan.
    Perdana Menteri Indonesia pergi ke Kolombo untuk memenuhi urndangan Perdana Menterl Srilanka dengan membawa bahan-bahan hasil perumusan Pemerintah Indonesia. Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat dinas Kepala-kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mr. Sunario. Rapat dinas tersebut diadakan di Tugu (Bogor) pada tanggal 9 sampai dengan 22 Maret 1954.
    Akhirnya, dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para Perdana Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjejaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu.

3.3 Usaha-Usaha Persiapan Konferensi
    Di atas telah diungkapkan bahwa Konferensi Kolombo menugaskan Indonesia agar menjejaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi Asia Afrika. Dalam rangka menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan melalui saluran diplomatik kepada 18 negara Asia Afrika. Maksudnya, untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide mengadakan Konferensi Asia Afrika. Dalam pendekatan tersebut dijelaskan bahwa tujuan utama konferensi itu ialah untuk membicarakan kepentingan bersama bangsa-bangsa Asia Afrika pada saat itu, mendorong terciptanya perdamaian dunia, dan mempromosikan Indonesia sebagai tempat konferensi. Ternyata pada umumnya negara-negara yang dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumahnya, walaupun dalam hal waktu dan peserta konferensi terdapat berbagai pendapat yang berbeda.

    Pada tanggal 18 Agustus 1954, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India, melalui suratnya, mengingatkan Perdana Menteri Indonesia tentang perkembangan situasi dunia dewasa itu yang semakin gawat, sehubungan dengan adanya usul untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Memang Perdana Menteri India dalam menerima usul itu masih disertai keraguan akan berhasil-tidaknya usul tersebut dilaksanakan. Barulah setelah kunjungan Perdana Menteri Indonesia pada tanggal 25 September 1954, beliau yakin benar akan pentingnya diadakan konferensi semacam itu, seperti tercermin dalam pernyataan bersama pada akhir kunjungan Perdana Menteri Indonesia
"The prime Ministers discussed also the proposal to have a conference of representatives of Asian and African countries and were agreed that a conference of this kind was desirable and world be helpful in promoting the cause of peace and a common approach to these problems. It should be held at an early date".
("Para Perdana Menteri telah membicarakan usulan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mewakili negara-negara Asia dan Afrika serta menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan dan akan membantu terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah (yang dihadapi). Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin").

    Keyakinan serupa dinyatakan pula oleh Perdana Menteri Birma U Nu pada tanggal 28 September 1954.
    Dengan demikian, maka usaha-usaha penyelidikan atas kemungkinan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika dianggap selesai dan berhasil serta usaha selanjutnya ialah mempersiapkan pelaksanaan konferensi itu.
    Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Srilanka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
    Konferensi Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi negara sponsornya.Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara.

3.4 Tujuan Konferensi
    Konferensi Bogor menghasilkan 4 (empat) tujuan pokok Konferensi Asia Afrika, yaitu
1. Untuk memajukan goodwill (kehendak yang luhur) dan kerja sama antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika, untuk menjelajah serta memaj ukan kepentingan-kepentingan mereka, baik yang silih ganti maupun yang bersama, serta untuk menciptakan dan memajukan persahabatan serta perhubungan sebagai tetangga baik;
2. Untuk mempertimbangkan soal-soal serta hubungan-hubungan di lapangan sosial, ekonomi, dan kebudayaan negara yang diwakili;
3. Untuk mempertimbangkan soal-soal yang berupa kepentingan khusus bangsa-bangsa Asia dan Afrika, misalnya soal-soal yang mengenai kedaulatan nasional dan tentang masalah-masalah rasialisme dan kolonialisme;
4. Untuk meninjau kedudukan Asia dan Afrika, serta rakyat¬rakyatnya di dalam dunia dewasa ini serta sumbangan yang dapat mereka berikan guna memajukan perdamaian serta kerja sama di dunia.


3.5 Peserta dan Waktu Konferensi
    Negara-negara yang diundang disetujui berjumlah 25 negara, yaitu : Afganistan, Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Lebanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muang Thai), Turki, Republik Demokrasi Viet-nam (Viet-nam Utara), Viet-nam Selatan, dan Yaman. Waktu konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April 1955.
   
    Mengingat negara-negara yang akan di undang mempunyai politik luar negeri serta sistem politik dan sosial yang berbeda-beda, Konferensi Bogor menentukan bahwa menerima undangan untuk turut dalam Konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara lain. Konferensi menjunjung tinggi pula azas bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup sesuatu negara sekali¬sekali tidak akan dapat dicampuri oleh negara lain. Maksud utama konferensi ialah supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui pendirian mereka masing-masing.

3.6 Struktur Organisasi Panitia Pelaksana
    Dalam persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, Indonesia membentuk sekretariat konferensi yang diwakili oleh negara-negara penyelenggara.
   
    Guna mewujudkan keputusan-keputusan Konferensi Bogor, segera dibentuk Sekretariat Bersama (Joint Secretariat) oleh lima negara penyelenggara. Indonesia diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Roeslan Abdul Gani yang juga menjadi ketua badan itu, dan 4 (empat) negara lainnya diwakili oleh Kepala¬kepala Perwakilan mereka masing-masing di Jakarta, yaitu U Mya Sein dari Birma, M. Saravanamuttu dari Srilanka, B.F.H.B. Tyobji dari India, dan Choudhri Khaliquzzaman dari Pakistan. Di dalam Sekretariat Bersama itu terdapat 10 (sepuluh) orang staf yang melaksanakan pekerjaan sehari-hari, terdiri atas 2 (dua) orang dari Birma, seorang dari Srilanka, 2 (dua) orang dari India, 4 (empat) orang dari Indonesia, dan seorang dari Pakistan. Selain itu terdapat pula 4 (empat) komite terdiri atas Komite Politik, Komite Ekonomi, Komite Sosial, Komite Kebudayaan. Selain itu, ada pula panitia yang menangani bidang¬bidang : keuangan, perlengkapan, dan pers.
 Pemerintah Indonesia sendiri pada tanggal 11 Januari 1955 membentuk Panitia Interdepartemental (Interdepartemental Committee) yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal SekretariatBersama dengan anggota-anggota dan penasehatnya berasal dari berbagai departemen guna membantu persiapan-persiapan konferensi itu. Di Bandung, tempat diadakannya konferensi, dibentuk Panitia Setempat (Local Committee) pada tanggal 3 Januari 1955 dengan ketuanya Sanusi Hardjadinata, Gubernur Jawa Barat. Panitia Setempat bertugas mempersiapkan dan melayani soal-soal yang bertalian dengan akomodasi, logistik, transport, kesehatan, komunikasi, keamanan, hiburan, protokol, penerangan, dan lain-lain.

DIAGRAM ORGANISASI KONPERENSI ASIA AFRIKA
Pemerintah    I    25 Negara Peserta    I
Republik Indonesia
I    Sekretaris Bersama    I
I    Protokol    I
Panitia
Interdepartmental    Panitia Lokal di
di Jakarta    Bandung

    Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (dua belas) hotel lainnya serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap para tamu yang berjumlah 1300 orang. Keperluan transport dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, dengan jumlah 230 orang sopir dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan 175 ton bensin.
   
    Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.
   
    Pada tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada kepala pemerintahan 25 (dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat Jakarta pada tanggal 16 April 1955.


3.7 Pelaksanaan Konferensi
    Pada hari Senin 18 April 1955, sejak fajar menyingsing telah tampak kesibukan di Kota Bandung untuk menyambut pembukaan Konferensi Asia Afrika. Sejak pukul 07.00 WIB kedua tepi sepanjang Jalan Asia Afrika dari mulai depan Hotel Preanger sampai dengan kantor pos, penuh sesak oleh rakyat yang ingin menyambut dan menyaksikan para tamu dari berbagai negara. Sementara para petugas keamanan yang terdiri dari tentara dan polisi telah siap di tempat tugas mereka untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
   
    Sekitar pukul 08.30 WIB, para delegasi dari berbagai negara berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Preanger menuju Gedung Merdeka secara berkelompok untuk menghadiri pembukaan Konferensi Asia Afrika. Banyak di antara mereka memakai pakaian nasional masing-masing yang beraneka corak dan wama. Mereka disambut hangat oleh rakyat yang berderet disepanjang Jalan Asia Afrika dengan tepuk tangan dan sorak sorai riang gembira. Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Preanger ini kemudian dikenal dengan nama Langkah Bersejarah (The Bandung Walks). Kira-kira pukul 09.00 WIB, semua delegasi masuk ke dalam Gedung Merdeka.
   
    Tak lama kemudian rombongan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, tiba di depan Gedung Merdeka dan disambut oleh rakyat dengan sorak-sorai dan pekik "merdeka". Di depan pintu gerbang Gedung Merdeka kedua pucuk pimpinan pemerintah Indonesia itu disambut oleh lima Perdana Menteri negara sponsor. Setelah diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia : "Indonesia Raya", maka Presiden RI Ir. Soekarno mengucapkan pidato pembukaan yang berjudul "LET A NEW ASIA AND NEW AFRICA BE BORN" (Lahirlah Asia Baru dan Afrika Baru) pada pukul 10.20 WIB.

    Dalam kesempatan tersebut Presiden RI Ir. Soekarno menyatakan bahwa kita, peserta konferensi, berasal dari kebangsaan yang berlainan, begitu pula latar belakang sosial dan budaya, agama, sistem politik, bahkan warna kulit pun berbeda-beda. Meskipun demikian, kita dapat bersatu, dipersatukan oleh pengalaman pahit yang sama akibat kolonialisme, oleh ketetapan hati yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia. Pada bagian akhir pidatonya beliau mengatakan
"I hope that it will give evidence of the fact that we, Asian and African leaders, understand that Asia and Africa can prosper only when they are united, and that even the safety of the world at large can not be safeguarded without a united Asia-Africa. I hope that it conference will give guidance to mankind, will point out to mankind the way which it must take to attain safety and peace. I hope that it will give evidence that Asia and Africa have been reborn, that a New Asia and New Africa have been born !"
("Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia-Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!")

    Pidato Presiden RI Ir. Soekarno berhasil menarik perhatian, mempesona, dan mempengaruhi hadirin, terbukti dengan adanya usul Perdana Menteri India yang didukung oleh semua peserta konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan terimakasih kepada Presiden atas pidato pembukaannya.

    Pada pukul 10.45 WIB., Presiden RI Ir. Soekarno mengakhiri pidatonya, dan selanjutnya bersama rombongan meninggalkan ruangan. Perdana Menteri Indonesia, sebagai pimpinan sidang sementara, membuka sidang kembali. Atas usul Ketua Delegasi Mesir (Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser) yang kemudian disetujui oleh pimpinan delegasi-delegasi : Republik Rakyat Cina, Yordania, dan Filipina, serta karena tidak ada calon lain yang diusulkan, maka secara aklamasi Perdana Menteri Indonesia terpilih sebagai ketua konferensi. Selain itu, Ketua Sekretariat Bersama Konferensi, Roeslan Abdulgani dipilih sebagai Sekretaris Jenderal Konferensi.

    Kelancaran pemilihan pimpinan konferensi dan acara-acara sidang selanjutnya dimungkinkan oleh adanya pertemuan informal terlebih dahulu di antara para pimpinan delegasi negara sponsor dan negara peserta sebelum konferensi dimulai (16 dan 17 April 1955). Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan yang bertalian dengan prosedur acara, pimpinan konferensi, dan lain-lain yang dipandang perlu. Beberapa kesepakatan itu antara lain bahwa prosedur dan acara konferensi ditempuh dengan sesederhana mungkin.

    Dalam memutuskan sesuatu akan ditempuh sistem musyawarah dan mufakat (sistem konsensus) dan untuk menghemat waktu tidak diadakan pidato sambutan delegasi. Perdana Menteri Indonesia akan dipilih sebagai ketua konferensi. Sidang konferensi terdiri atas sidang terbuka untuk umum dan sidang tertutup hanya bagi peserta konferensi. Dibentuk tiga komite, yaitu Komite Politik, Komite Ekonomi, dan Komite Kebudayaan. Semua kesepakatan tersebut selanjutnya disetujui oleh sidang dan susunan pimpinan konferensi adalah sebagai berikut :
Ketua Konferensi    : Mr. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
Ketua Komite Politik    Mr. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
Ketua Komite Ekonomi    : Prof. Ir. Roosseno,
Menteri Perekonomian Indonesia
Ketua Komite Kebudayaan : Mr. Moh. Yamin,
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia

    Dalam sidang-sidang selanjutnya muncul beberapa kesulitan yang bisa diduga sebelumnya. Kesulitan-kesulitan itu terutama terjadi dalam sidang-sidang Komite Politik. Perbedaan-perbedaan pandangan politik dan masalah-masalah yang dihadapi antara negara-negara Asia Afrika muncul ke permukaan, bahkan sampai pada tahap yang agak panas.
    Namun berkat sikap yang bijaksana dari pimpinan sidang serta hidupnya rasa toleransi dan kekeluargaan di antara peserta konferensi, maka jalan buntu selalu dapat dihindari dan pertemuan yang berlarut¬larut dapat diakhiri.
   
    Setelah melalui sidang-sidang yang menegangkan dan melelahkan selama satu minggu, maka pada pukul 19.00 WIB. (terlambat dari yang direncanakan) tanggal 24 April 1955 Sidang Umum terakhir Konferensi Asia Afrika dibuka. Dalam Sidang Umum itu dibacakan oleh Sekretaris Jenderal Konferensi rumusan pemyataan dari tiap-tiap panitia sebagai hasil konferensi. Sidang Umum menyetujui seluruh pemyataan tersebut. Kemudian sidang dilanjutkan dengan pidato sambutan para ketua delegasi. Setelah itu, Ketua Konferensi menyampaikan pidato penutupan dan menyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika ditutup.
   
    Dalam komunike terakhir itu diantaranya dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika telah meninjau soal-soal mengenai kepentingan bersama negara-negara Asia dan Afrika dan telah merundingkan cara-cara bagaimana rakyat negara-negara ini dapat bekerja sama dengan lebih erat di bidang ekonomi, kebudayaan, dan politik. Yang paling mashur dari hasil konferensi ini ialah apa yang kemudian dinamakan Dasa Sila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. Kesepuluh prinsip itu ialah :
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta azas-azas yang termuat dalam piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa-bangsa.
3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan
    semua bangsa-bangsa besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal¬
    soal dalam negeri negara lain.
5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.
6. a. Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dari pertaha¬
        nan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu          dari negara-negara besar.
    b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik sesuatu negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hakim atau pun lain-lain cara damai lagi menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasio-nal.


3.8 Penutup
    Dalam penutup komunike terakhir dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan supaya kelima negara penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan berikutnya dari konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara peserta lainnya. Tetapi usaha untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua selalu mengalami hambatan yang sulit diatasi. Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di negara tuan rumah (Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan, sehingga konferensi itu tidak jadi.
    Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika, baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regional. Konferensi serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.
   
    Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka di benua Asia dan Afrika. Semua itu menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin merasuk ke dalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
   
    Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau "Non-Aligned' terhadap Dunia Pertamanya Washington dan Dunia Keduanya Moscow. Jiwa Bandung telah mengubah juga struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Forum PBB bukan lagi forum eksklusif Barat atau Timur.
   
    Sebagai penutup uraian singkat ini, dikutip bagian terakhir pidato penutupan Ketua Konferensi Asia Afrika sebagai berikut
"May we continue on the way we have taken together and may the Bandung Conference stay as a beacon guiding the future progress of Asia and Africa".
("Semoga kita dapat meneruskan perjalanan kita di atas jalan yang telah kita pilih bersama-sama dan semoga Konferensi Bandung ini tetap tegak sebagai sebuah mercusuar yang membimbing kemajuan di masa depan dari Asia dan Afrika")


Konferensi Asia Afrika / KAA di Bandung 18 April 1955 - Negara Peserta & Hasil KAA Dasasila Bandung / Bandung Declaration

Konfrensi Asia Afrika yang pertama (KAA I) diadakan di kota Bandung pada tanggal 19 april 1955 dan dihadiri oleh 29 negara kawasan Asia dan Afrika. Konferensi ini menghasilkan 10 butir hasil kesepakatan bersama yang bernama Dasasila Bandung atau Bandung Declaration.
Dengan adanya Dasa Sila Bandung mampu menghasilkan resolusi dalam persidangan PBB ke 15 tahun 1960 yaitu resolusi Deklarasi Pembenaran Kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa yang terjajah yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Dekolonisasi.
Negara-Negara Peserta yang mengikuti Konferensi Asia Africa KAA 1 di Bandung :
1. Indonesia
2. Afghanistan
3. Kamboja
4. RRC / Cina
5. Mesir
6. Ethiopia
7. India
8. Filipina
9. Birma
10. Pakistan
11. Srilanka
12. Vietnam Utara
13. Vietnam Selatan
14. Saudi Arabia
15. Yaman
16. Syiria
17. Thailand
18. Turki
19. Iran
20. Irak
21. Sudan
22. Laos
23. Libanon
24. Liberia
25. Thailand
26. Ghana
27. Nepal
28. Yordania
29. Jepang
Sepuluh (10) inti sari / isi yang terkandung dalam Bandung Declaration / Dasasila Bandung :
1. Menghormati hak-hak dasar manusia seperti yang tercantum pada Piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas semua bangsa.
3. Menghormati dan menghargai perbedaan ras serta mengakui persamaan semua ras dan bangsa di dunia.
4. Tidak ikut campur dan intervensi persoalan negara lain.
5. Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri baik sendiri maupun kolektif sesuai dengan piagam pbb.
6. Tidak menggunakan peraturan dari pertahanan kolektif dalam bertindak untuk kepentingan suatu negara besar.
7. Tidak mengancam dan melakukan tindak kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
8. Mengatasi dan menyelesaikan segala bentuk perselisihan internasional secara jalan damai dengan persetujuan PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.
10. Menghormati hukum dan juga kewajiban internasional.

peranan indonesia dalam gerakan non blok

Peran Indonesia dalam GNB
Peranan Indonesia, khususnya Presiden Soekarno, dalam meletakkan fondasi pendirian GNB dinilai cukup besar. Konferensi Asia-Afrika (KAA), yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955 merupakan momen penting sekaligus embrio berdirinya GNB. Selain itu, hingga saat ini prinsip-prinsip Dasa Sila Bandung, sebagai salah satu hasil KAA, tetap menjiwai setiap upaya GNB

Indonesia pernah menjadi ketua GNB (1992-95), saat ini menjadi ketua NAM CSSTC (Non-Aligned Movement Center for South-South Technical Cooperation) di Jakarta; dan pelopor kemitraan strategis baru Asia-Afrika melalui KAA 2005. Indonesia juga menjadi ketua Working Group on Disarmament di GNB dan berperan aktif dalam isu pelucutan senjata internasional.

Dengan berakhirnya sistem bipolar, muncul keragu-raguan peran GNB. Dalam KTT ke-10 GNB di Jakarta tahun 1992 dibawah keketuaan Indonesia, sebagian besar ketidakpastian dan keragu-raguan mengenai peran dan masa depan GNB berhasil ditanggulangi. Jakarta Message, sebagai hasil KTT, menyatakan bahwa yang dibutuhkan GNB bukan hanya agenda bagi Selatan (negara berkembang) , namun juga dialog -- bukan konfrontasi -- dengan Utara. GNB merupakan forum untuk itu.

Dalam kerangka GNB, Indonesia juga memberikan andil yang cukup signifikan dalam membantu upaya-upaya rekonstruksi dan rehabilitasi di Bosnia Herzegovina dengan menyumbang sebesar US$ 8,075 juta, termasuk bantuan rakyat Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia sebesar US$ 3 juta.

Indonesia juga berperan aktif mendukung perjuangan rakyat Palestina. Komite Palestina GNB (Komite-9) dalam KTM ke-12 GNB di New Delhi, 1997, telah memasukkan Indonesia sebagai anggota ke-10 Komite Palestina GNB. Dalam kaitan ini, Menlu RI bersama delegasi tingkat menteri Komite Palestina GNB tersebut, telah berkunjung ke Palestina pada 2 Juni 2002 sebagai ekspresi solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina yang tengah menghadapi kepungan pasukan Israel di Ramallah. Selain itu, Indonesia juga turut berperan aktif dalam membantu upaya-upaya penyelesaian masalah lainnya seperti Irak, Afghanistan dan Semenanjung Korea.

Pandangan Indonesia tentang GNB di masa sekarang dan mendatang
Indonesia memandang bahwa GNB merupakan wadah yang tepat bagi negara-negara berkembang untuk memperjuangkan cita-citanya. Sikap ini secara konsekuen diaktualisasikan Indonesia dalam kiprahnya pada masa kepemimpinan Indonesia (1992-1995). Selama masa kepemimpinannya, Indonesia diakui telah berhasil memajukan pendekatan baru GNB yang berorientasikan pada kemitraan, dialog dan kerjasama serta meninggalkan sikap konfrontatif dan retorika semata.
Dengan sikap kooperatif tersebut, GNB mampu merubah persepsi yang pernah melekat di kalangan negara maju bahwa GNB merupakan kelompok yang berpandangan apriori dan hanya bisa menuntut. Dengan demikian, GNB mampu berkiprah secara konstruktif terutama dalam interaksinya baik dengan negara-negara maju maupun dalam organisasi dan badan-badan multilateral/ internasional.
 

manfaat konferensi asia afrika (KAA) bagi Indonesia

Antara lain sebagai perekat untuk mendasari pembaharuan tekad bangsa dan negara masing-masing dalam meningkatkan martabatnya serta tetap berusaha melaksanakan kerjasama guna menanggulangi beragam kesenjangan ekonomi, sosial, budaya dan politik negara-negara di kedua benua tersebut
 
 

peranan dan manfaat Indonesia dalam hubungan internasional

Peranan dan manfaat Indonesia dalam hubungan internasional dapat dikatakan lumayan dengan faktor-faktor sebagai berikut:

1. Ikut berperan dalam Gerakan Non Blok, sehingga membantu negara-negara berkembang mempunyai kekuatan menghadapi blok barat dan timur pada masanya.
2. Konferensi Asia-Afrika, yah hampir sama lah dengan GNB, tapi ga ada unsur blok barat dan timur.
3. Mendorong UNCLOS agar negara kepulauan diakui hak2nya.
4. Ikut memberikan suara dan arah kerjasama pada NPT.
5. Ikut dalam pendirian ASEAN, ASEAN Regional Forum, TAC dan ASEAN Charter.
6. Pernah jadi ketua badan HAM PBB.
7. yang paling penting sekarang mungkin adalah berperan dalam menciptakan perdamaian melalui dialog antar budaya/agama sehingga persepsi2 yang salah dan berpotensi menyebabkan konflik dapat dikurangi pada tingkat internasional.
8. Dapat menyelenggarakan UNFCCC dengan baik yang akhirnya menghasilkan Bali Roadmap yang mencakup kepentingan negara-negara berkembang agar tanggung jawab pemeliharaan lingkungan dunia menjadi tanggung jawab bersama antara negara-negara maju dan berkembang sehingga lebih adil.
9. Berperan pada pasukan perdamaian di beberapa negara.
10. Memberikan sumbangan-sumbangan uang, capacity building dan dukungan kepada negara lain untuk pembangunannya.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana kita memanfaatkan kerjasama yang ada di dalam negeri. Deplu serta departemen dan instansi terkait perlu tahu tugas mereka masing-masing dan menjalankannya dengan baik dan benar. Pegawai negeri, TNI/Polri sebaiknya diberikan gaji untuk berkehidupan yang layak. Bila perlu dinaikkan gajinya sesuai dengan standar swasta serta perbaikan peraturan penilaian kinerja agarr: a. ada semangat untuk meningkatkan kinerja dan bersaing; b. tidak ada alasan untuk korupsi - bila korupsi, harap dihukum seberat-beratnya jangan sampai maling ayam dihukum dan koruptor jutaan rupiah bebas. Berarti harus ada supremasi hukum juga.

meskipun RI memberikan banyak sumbangan atau peran pada tingkat internasional, bilamana tidak ditunjang dengan kompetensi pegawai-pegawai departemen atau instansi terkait di dalam negeri serta peraturan yang adil/pas bagi rakyat, sulit rasanya Indonesia sigap mengambil manfaat yang ditawarkan pada berbagai kerjasama sub-regional, regional atau internasional. Sebagai contoh, kita akan rugi sendiri bila terlibat FTA sedangkan produk kita kalah bersaing karena: a. Produsen dipalak oknum aparat terus menganggu distribusi dan meningkatkan cost; b. tidak adanya infrastruktur (jalan, listrik dlsb.) yang memadai; c. sulitnya memperoleh izin; tidak dirangsangnya kreatifitas karena terjegal peraturan atau tidak adanya peraturan - contoh: jika saya berhasil membuat suatu mesin mobil yang hanya butuh 1 liter untuk jalan 35 kilometer, siapa yang bakal jamin hak cipta saya dilindungi? Kalau ga dilindungi, ngapain juga saya berpikir untuk mencipta? Mendingan buka restoran atau jual rokok atau apalah, yang biasa-biasa aja, ga repot. Atau jadi artis (hehehe, atau model majalah trubus). Padahal orang Indonesia juga mampu berkarya pada tingkat internasional.

Konferensi Asia Afrika

Brakhirnya Perang Dunia I membawa pengaruh terhadap bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk memperoleh kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Di samping itu juga ditandai dengan munculnya dua kekuatan ideologis, politis, dan militer termasuk pengembangan senjata nuklir. Negara Republik Indonesia dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara selalu berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Salah satu bentuk penyelenggaraan kehidupan bernegara adalah menjalin kerja sama dengan negara lain. Kebijakan yang menyangkut hubungan dengan negara lain terangkum dalam kebijakan politik luar negeri. Oleh karena itu, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia juga harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Indonesia mencetuskan gagasannya untuk menggalang kerja sama dan solidaritas antarbangsa dengan menyelenggarakan KAA.
A. Latar Belakang Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika
Politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Bebas, artinya bangsa Indonesia tidak memihak pada salah satu blok yang ada di dunia. Jadi, bangsa Indonesia berhak bersahabat dengan negara mana pun asal tanpa ada unsur ikatan tertentu. Bebas juga berarti bahwa bangsa Indonesia mempunyai cara sendiri dalam menanggapi masalah internasional. Aktif berarti bahwa bangsa Indonesia secara aktif ikut mengusahakan terwujudnya perdamaian dunia. Negara Indonesia memilih sifat politik luar negerinya bebas aktif sebab setelah Perang Dunia II berakhir di dunia telah muncul dua kekuatan adidaya baru yang saling berhadapan, yaitu negara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Amerika Serikat memelopori berdirinya Blok Barat atau Blok kapitalis (liberal), sedangkan Uni Soviet memelopori kemunculan Blok Timur atau blok sosialis (komunis).
Dalam upaya meredakan ketegangan dan untuk mewujudkan perdamaian dunia, pemerintah Indonesia memprakarsai dan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Usaha ini mendapat dukungan dari negara-negara di Asia dan Afrika. Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika pada umumnya pernah menderita karena penindasan imperialis Barat. Persamaan nasib itu menimbulkan rasa setia kawan. Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak negara di Asia dan Afrika yang berhasil mencapai kemerdekaan, di antaranya adalah India, Indonesia, Filipina, Pakistan, Burma (Myanmar), Sri Lanka, Vietnam, dan Libia. Sementara itu, masih banyak pula negara yang berada di kawasan Asia dan Afrika belum dapat mencapai kemerdekaan. Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang telah merdeka tidak melupakan masa lampaunya. Mereka tetap merasa senasib dan sependeritaan. Lebih-lebih apabila mengingat masih banyak negara di Asia dan Afrika yang belum merdeka. Rasa setia kawan itu dicetuskan dalam Konferensi Asia Afrika. Sebagai cetusan rasa setia kawan dan sebagai usaha untuk menjaga perdamaian dunia, pelaksanaan Konferensi Asia Afrika mempunyai arti penting, baik bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika pada khususnya maupun dunia pada umumnya.
Prakarsa untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika dikemukakan pertama kali oleh Perdana Menteri RI Ali Sastroamijoyo yang kemudian mendapat dukungan dari negara India, Pakistan, Sri Lanka, dan Burma (Myanmar) dalam Konferensi Colombo.
B. Konferensi Pendahuluan Sebelum Konferensi Asia Afrika
Sebelum Konferensi Asia Afrika dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan konferensi pendahuluan sebagai persiapan. Konferensi pendahuluan tersebut, antara lain sebagai berikut.
1) Konferensi Kolombo (Konferensi Pancanegara I).
Konferensi pendahuluan yang pertama diselenggarakan di Kolombo, ibu kota negara Sri Lanka pada tanggal 28 April–2 Mei 1954. Konferensi dihadiri oleh lima orang perdana menteri dari negara sebagai berikut.
a) Perdana Menteri Pakistan : Muhammad Ali Jinnah b) Perdana Menteri Sri Lanka : Sir John Kotelawala c) Perdana Menteri Burma (Myanmar) : U Nu d) Perdana Menteri Indonesia : Ali Sastroamijoyo e) Perdana Menteri India : Jawaharlal Nehru
Konferensi Kolombo membahas masalah Vietnam, sebagai persiapan untuk menghadapi Konferensi di Jenewa. Di samping itu Konferensi Kolombo secara aklamasi memutuskan akan mengadakan Konferensi Asia Afrika dan pemerintah Indonesia ditunjuk sebagai penyelenggaranya. Kelima negara yang wakilnya hadir dalam Konferensi Kolombo kemudian dikenal dengan nama Pancanegara. Kelima negara itu disebut sebagai negara sponsor. Konferensi Kolombo juga terkenal dengan nama Konferensi Pancanegara I.
2) Konferensi Bogor (Konferensi Pancanegara II).
Konferensi pendahuluan yang kedua diselenggarakan di Bogor pada tanggal 22–29 Desember 1954. Konferensi itu dihadiri pula oleh perdana menteri negara-negara peserta Konferensi Kolombo.
Konferensi Bogor memutuskan hal-hal sebagai berikut.
a) Konferensi Asia Afrika akan diselenggarakan di Bandung pada bulan 18-24 April 1955. b) Penetapan tujuan KAA dan menetapkan negara-negara yang akan diundang sebagai peserta Konferensi Asia Afrika. c) Hal-hal yang akan dibicarakan dalam Konferensi Asia Afrika. d) Pemberian dukungan terhadap tuntutan Indonesia mengenai Irian Barat.
Konferensi Bogor juga terkenal dengan nama Konferensi Pancanegara II.
C. Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika
Sesuai dengan rencana, Konferensi Asia Afrika diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18–24 April 1955. Konferensi Asia Afrika dihadiri oleh wakil-wakil dari 29 negara yang terdiri atas negara pengundang dan negara yang diundang.
Negara pengundang meliputi : Indonesia, India, Pakistan, Sri Lanka, dan Burma (Myanmar).
Negara yang diundang 24 negara terdiri atas 6 negara Afrika dan 18 negara meliputi Asia (Filipina, Thailand, Kampuchea, Laos, RRC, Jepang, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Nepal, Afghanistan, Iran, Irak, Saudi Arabia, Syria (Suriah), Yordania, Lebanon, Turki, Yaman), dan Afrika (Mesir, Sudan, Etiopia, Liberia, Libia, dan Pantai Emas/Gold Coast).
Negara yang diundang, tetapi tidak hadir pada Konferensi Asia Afrika adalah Rhodesia/Federasi Afrika Tengah. Ketidakhadiran itu disebabkan Federasi Afrika Tengah masih dilanda pertikaian dalam negara/dikuasai oleh orang-orang Inggris. Semua persidangan Konferensi Asia Afrika diselenggarakan di Gedung Merdeka, Bandung.
Latar belakang dan dasar pertimbangan diadakan KAA adalah sebagai berikut.
  1. Kenangan kejayaan masa lampau dari beberapa negara di kawasan Asia Afrika.
  2. Perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama merasakan masa penjajahan dan penindasan bangsa Barat, kecuali Thailand.
  3. Meningkatnya kesadaran berbangsa yang dimotori oleh golongan elite nasional/terpelajar dan intelektual.
  4. Adanya Perang Dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur.
  5. Memiliki pokok-pokok yang kuat dalam hal bangsa, agama, dan budaya.
  6. Secara geografis letaknya berdekatan dan saling melengkapi satu sama lain.
Tujuan diadakannya Konferensi Asia Afrika, antara lain:
  1. memajukan kerja sama bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan;
  2. memberantas diskriminasi ras dan kolonialisme;
  3. memperbesar peranan bangsa Asia dan Afrika di dunia dan ikut serta mengusahakan perdamaian dunia dan kerja sama internasional.
  4. bekerja sama dalam bidang sosial, ekonomi, dan budaya,
  5. membicarakan masalah-masalah khusus yang menyangkut kepentingan bersama seperti kedaulatan negara, rasionalisme, dan kolonialisme.
Konferensi Asia Afrika membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama negara-negara di Asia dan Afrika, terutama kerja sama ekonomi dan kebudayaan, serta masalah kolonialisme dan perdamaian dunia.
Kerja sama ekonomi dalam lingkungan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dilakukan dengan saling memberikan bantuan teknik dan tenaga ahli. Konferensi berpendapat bahwa negara-negara di Asia dan Afrika perlu memperluas perdagangan dan pertukaran delegasi dagang. Dalam konferensi tersebut ditegaskan juga pentingnya masalah perhubungan antarnegara karena kelancaran perhubungan dapat memajukan ekonomi. Konferensi juga menyetujui penggunaan beberapa organisasi internasional yang telah ada untuk memajukan ekonomi.
Konferensi Asia Afrika menyokong sepenuhnya prinsip dasar hak asasi manusia yang tercantum dalam Piagam PBB. Oleh karena itu, sangat disesalkan masih adanya rasialisme dan diskriminasi warna kulit di beberapa negara. Konferensi mendukung usaha untuk melenyapkan rasialisme dan diskriminasi warna kulit di mana pun di dunia ini. Konferensi juga menyatakan bahwa kolonialisme dalam segala bentuk harus diakhiri dan setiap perjuangan kemerdekaan harus dibantu sampai berhasil. Demi perdamaian dunia, konferensi mendukung adanya perlucutan senjata. Juga diserukan agar percobaan senjata nuklir dihentikan dan masalah perdamaian juga merupakan masalah yang sangat penting dalam pergaulan internasional. Oleh karena itu, semua bangsa di dunia hendaknya menjalankan toleransi dan hidup berdampingan secara damai. Demi perdamaian pula, konferensi menganjurkan agar negara yang memenuhi syarat segera dapat diterima menjadi anggota PBB.
Konferensi setelah membicarakan beberapa masalah yang menyangkut kepentingan negara-negara Asia Afrika khususnya dan negara-negara di dunia pada umumnya, segera mengambil beberapa keputusan penting, antara lain:
  1. memajukan kerja sama bangsa-bangsa Asia Afrika di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan;
  2. menuntut kemerdekaan bagi Aljazair, Tunisia, dan Maroko;
  3. mendukung tuntutan Indonesia atas Irian Barat dan tuntutan Yaman atas Aden;
  4. menentang diskriminasi ras dan kolonialisme dalam segala bentuk;
  5. aktif mengusahakan perdamaian dunia.
Selain menetapkan keputusan tersebut, konferensi juga mengajak setiap bangsa di dunia untuk menjalankan beberapa prinsip bersama, seperti:
  1. menghormati hak-hak dasar manusia, tujuan, serta asas yang termuat dalam Piagam PBB;
  2. menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa;
  3. mengakui persamaan ras dan persamaan semua bangsa, baik bangsa besar maupun bangsa kecil;
  4. tidak melakukan intervensi atau ikut campur tangan dalam persoalan dalam negeri negara lain;
  5. menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri, baik secara sendirian maupun secara kolektif sesuai dengan Piagam PBB;
  6. a)tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus salah satu negara besar; b)tidak melakukan tekanan terhadap negara lain;
  7. tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atas kemerdekaan politik suatu negara;
  8. menyelesaikan segala perselisihan internasional secara damai sesuai dengan Piagam PBB;
  9. memajukan kepentingan bersama dan kerja sama internasional;
  10. menghormati hukum dan kewajiban internasional lainnya.
Kesepuluh prinsip yang dinyatakan dalam Konferensi Asia Afrika itu dikenal dengan nama Dasasila Bandung atau Bandung Declaration.
D. Pengaruh Konferensi Asia Afrika bagi Solidaritas dan Perjuangan Kemerdekaan Bangsa di Asia dan Afrika
Konferensi Asia Afrika membawa pengaruh yang besar bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa di Asia dan Afrika. Pengaruh Konferensi Asia Afrika adalah sebagai berikut.
  1. Perintis dalam membina solidaritas bangsa-bangsa dan merupakan titik tolak untuk mengakui kenyataan bahwa semua bangsa di dunia harus dapat hidup berdampingan secara damai.
  2. Cetusan rasa setia kawan dan kebangsaan bangsa-bangsa Asia Afrika untuk menggalang persatuan.
  3. Penjelmaan kebangkitan kembali bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
  4. Pendorong bagi perjuangan kemerdekaan bangsa di dunia pada umumnya serta di Asia dan Afrika khususnya.
  5. Memberikan pengaruh yang besar terhadap perjuangan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dalam mencapai kemerdekaannya.
  6. Banyak negara-negara Asia-Afrika yang merdeka kemudian masuk menjadi anggota PBB.
Selain membawa pengaruh bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa di Asia dan Afrika, Konferensi Asia Afrika juga menimbulkan dampak yang penting dalam perkembangan dunia pada umumnya. Pengaruh atau dampak itu, antara lain sebagai berikut.
  1. Konferensi Asia Afrika mampu menjadi penengah dua blok yang saling berseteru sehingga dapat mengurangi ketegangan/détente akibat Perang Dingin dan mencegah terjadinya perang terbuka.
  2. Gagasan Konferensi Asia Afrika berkembang lebih luas lagi dan diwujudkan dalam Gerakan Non Blok.
  3. Politik bebas aktif yang dijalankan Indonesia, India, Burma (Myanmar), dan Sri Lanka tampak mulai diikuti oleh negara-negara yang tidak bersedia masuk Blok Timur ataupun Blok Barat.
  4. Belanda cemas dalam menghadapi kelompok Asia Afrika di PBB sebab dalam Sidang Umum PBB, kelompok tersebut mendukung tuntutan Indonesia atas kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI.
  5. Australia dan Amerika Serikat mulai berusaha menghapuskan diskriminasi ras di negaranya.
Konferensi Asia Afrika dan pengaruhnya terhadap solidaritas antarbangsa tidak hanya berdampak pada negara-negara di Asia dan Afrika, tetapi juga bergema ke seluruh dunia.
 
 

Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika

  • 1. Konferensi Tingkat Tinggi Asia - Afrika Oleh : Reza Septian SMA II IPA
  • 2. Sejarah singkat tentang KTT Asia - Afrika Konferensi Tingkat Tinggi Asia – Afrika kadang juga disebut Konferensi Bandung yaitu sebuah konferensi tingkat tinggi antara negara – negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KTT ini diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, India, dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Roeslan Abdulgani. Pertemuan ini berlangsung antara 18 April – 24 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerja sama ekonomi dan kebudayaan Asia – Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya. 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia mengirimkan wakilnya, Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai ketidakinginan kekuatan – kekuatan Barat untuk mengkonsultasikan dengan mereka tentang keputusan – keputusan yang mempengaruhi Asia pada masa Perang Dingin, kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat. Keinginan mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan pihak Barat, pertentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Perancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial Perancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat. Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non – Blok pada tahun 1961.
  • 3. Dasa sila Bandung Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung yang berisi tentang “pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia”. Dasa sila Bandung memasukan prinsip – prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip – prinsip Nehru, sebagai berikut : Menghormati hak – hak dasar manusia dan tujuan – tujuan serta asas – asas yang termuat di dalam Piagam PBB Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil. Tidak melakukan camput tangan atau intervensi dalam persoalan – persoalan dalam negeri negara lain. Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara individu maupun secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB. Tidak menggunakan peraturan – peraturan dan pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kpentingan khusus dari salah satu negara – negara besar, Tidak melakukan campur tangan terhadap negara lain. Tidak melakukan tindakan ataupun ancaman agresif maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase, atau penyelesaian masalah hukum, ataupun lain – lain cara damai, menurut pilihan pihak – pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama. Menghormati hukum dan kewajiban – kewajiban internasional.
  • 4. Gerakan Non - Blok Gerakan Non – Blok adalah suatu organisasi internasional yang terdiri dari lebih dari 100 negara yang tidak menganggap dirinya beraliansi dengan atau terhadap blok kekuatan besar apa pun. Gerakan Non – Blok pada tahun 1961 oleh Joseph Broz Tito ( Presiden Yugoslavia ), Soekarno ( Presiden Indonesia ), Gamal Abdul Nasser ( Presiden Mesir ), Pandit Jawaharlal Nehru ( Perdana Menteri India ), Kwane ( Presiden Ghana ) dan membawa negara – negara lain yang tidak ingin beraliansi dengan negara – negara adidaya peserta Perang Dingin bersama. Meskipun organisasi ini dimaksudkan untuk menjadi aliansi yang dekat seperti NATO atau Pakta Warsawa, negara – negara anggotanya tidak pernah mempunyai kedekatan yang diinginkan dan banyak anggotanya yang akhirnya diajak beraliansi dengan salah satu dari negara – negara adidaya tersebut. Misalnya, Kuba mempunyai hubungan yang dekat dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin.
  • 5. Tujuan Gerakan Non - Blok Tujuan Gerakan Non – Blok telah ditetapkan dalam KTT I di Beograd pada tahun 1961. Tujuan ini selalu ditegaskan kembali dalam deklarasi yang dihasilkan dalam setiap konferensi – konferensi KTT Non – Blok. Tujuan didirikannya Gerakan Non – Blok adalah : Mendukung perjuangan dekolonialisme dan memegang teguh perjuangan melawan imperalisme, kolonialisme, neokolonialisme, rasialisme apartheid dan zionisme. Wadah perjuangan negara – negara yang sedang berkembang. Mengurangi ketegangan blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet ( Rusia ). Tidak membenarkan usaha penyelesaian sengketa dengan kekerasan senjata.
  • 6. Kilas balik 23 Agustus 1953 - Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo ( Indonesia ) di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara mengusulkan perlunya kerjasama antara negara-negara di Asia dan Afrika dalam perdamaian dunia. 25 April – 2 Mei 1954 - Berlangsung Persidangan Kolombo di Sri Lanka . Hadir dalam pertemuan tersebut para pemimpin dari India, Pakistan, Burma (sekarang Myanmar), dan Indonesia. Dalam konferensi ini Indonesia memberikan usulan perlunya adanya Konferensi Asia-Afrika. 28 – 29 Desember 1954 - Untuk mematangkan gagasan masalah Persidangan Asia-Afrika, diadakan Persidangan Bogor . Dalam persidangan ini dirumuskan lebih rinci tentang tujuan persidangan, serta siapa saja yang akan diundang. 18 – 24 April 1955 - Konferensi Asia-Afrika berlangsung di Gedung Merdeka, Bandung. Persidangan ini dirasmikan oleh Presiden Soekarno dan diketuai oleh PM Ali Sastroamidjojo. Hasil dari persidangan ini berupa persetujuan yang dikenal dengan Dasasila Bandung . 

Gerakan Non-Blok

Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 merupakan proses awal lahirnya GNB. KAA diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955 dan dihadiri oleh 29 Kepala Negara dan Kepala Pemerintah dari benua Asia dan Afrika yang baru saja mencapai kemerdekaannya. KAA ditujukan untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia waktu itu dan berupaya menformulasikan kebijakan bersama negara-negara baru tersebut pada tataran hubungan internasional. KAA menyepakati ’Dasa Sila Bandung’ yang dirumuskan sebagai prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan kerjasama antara bangsa-bangsa. Sejak saat itu proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan dalam proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. Kelima tokoh dunia ini kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.

GNB berdiri saat diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I GNB di Beograd, Yugoslavia, 1-6 September 1961. KTT I GNB dihadiri oleh 25 negara yakni Afghanistan, Algeria, Yeman, Myanmar, Cambodia, Srilanka, Congo, Cuba, Cyprus, Mesir, Ethiopia, Ghana, Guinea, India, Indonesia, Iraq, Lebanon, Mali, Morocco, Nepal, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia dan Yugoslavia. Dalam KTT I tersebut, negara-negara pendiri GNB ini berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama di antara mereka. Pada KTT I juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri secara independen yang merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.

GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA tahun 1955 yang diselenggarakan di Bandung dan menghasilkan ‘Dasa Sila Bandung’ yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Secara khusus, Presiden Soekarno juga diakui sebagai tokoh penggagas dan pendiri GNB. Indonesia menilai penting GNB tidak sekedar dari peran yang selama ini dikontribusikan, tetapi terlebih-lebih mengingat prinsip dan tujuan GNB merupakan refleksi dari perjuangan dan tujuan kebangsaan Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

Tujuan utama GNB semula difokuskan pada upaya dukungan bagi hak menentukan nasib sendiri, kemerdekaan nasional, kedaulatan dan integritas nasional negara-negara anggota. Tujuan penting lainnya adalah penentangan terhadap apartheid; tidak memihak pada pakta militer multilateral; perjuangan menentang segala bentuk dan manifestasi imperialisme; perjuangan menentang kolonialisme,  neo-kolonialisme, rasisme, pendudukan dan dominasi asing; perlucutan senjata; tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan hidup berdampingan secara damai; penolakan terhadap penggunaan atau ancaman kekuatan dalam hubungan internasional; pembangunan ekonomi-sosial dan restrukturisasi sistem perekonomian internasional; serta kerjasama internasional berdasarkan persamaan hak. Sejak pertengahan 1970-an, isu-isu ekonomi mulai menjadi perhatian utama negara-negara anggota GNB. Untuk itu, GNB dan Kelompok 77 (Group of 77/G-77) telah mengadakan serangkaian pertemuan guna membahas masalah-masalah ekonomi dunia dan pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru (New International Economic Order).

Menyusul runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 dan kekuatan militer-politik komunisme di Eropa Timur, muncul perdebatan mengenai relevansi, manfaat dan keberadaan GNB. Muncul pendapat yang menyatakan bahwa dengan berakhirnya sistem bipolar, eksistensi GNB telah tidak bermakna. Namun, sebagian besar negara mengusulkan agar GNB menyalurkan energinya untuk menghadapi tantangan-tantangan baru dunia pasca Perang Dingin, di mana ketegangan Utara-Selatan kembali mengemuka dan jurang pemisah antara negara maju dan negara berkembang menjadi krisis dalam hubungan internasional. Perhatian GNB pada masalah-masalah terkait dengan pembangunan ekonomi negara berkembang, pengentasan kemiskinan dan lingkungan hidup, telah menjadi fokus perjuangan GNB di berbagai forum internasional pada dekade 90-an. 


Dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, pada tahun 1992, sebagian besar ketidakpastian dan keragu-raguan mengenai peran dan masa depan GNB berhasil ditanggulangi. Pesan Jakarta, yang disepakati dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, adalah dokumen penting yang dihasilkan pada periode kepemimpinan Indonesia dan memuat visi baru GNB, antara lain:
  • Mengenai relevansi GNB setelah Perang Dingin dan meningkatkan kerjasama konstruktif sebagai komponen integral hubungan internasional;
  • Menekankan pada kerjasama ekonomi internasional dalam mengisi kemerdekaan yang berhasil dicapai melalui perjuangan GNB sebelumnya;
  • Meningkatkan potensi ekonomi anggota GNB melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan.
  
  
Selaku ketua GNB waktu itu, Indonesia juga “menghidupkan kembali dialog konstruktif Utara-Selatan berdasarkan saling ketergantungan yang setara (genuine interdependence), kesamaan kepentingan dan manfaat, dan tanggung jawab bersama”. Selain itu, Indonesia juga mengupayakan penyelesaian masalah hutang luar negeri negara-negara berkembang miskin (HIPCs/ Heavily Indebted Poor Countries) yang terpadu, berkesinambungan dan komprehensif. Sementara guna memperkuat kerjasama Selatan-Selatan, KTT GNB ke-10 di Jakarta sepakat untuk “mengintensifkan kerjasama Selatan-Selatan berdasarkan prinsip collective self-reliance”. Sebagai tindak lanjutnya, sesuai mandat KTT Cartagena, Indonesia bersama Brunei Darussalam mendirikan Pusat Kerjasama Teknik Selatan-Selatan GNB.

Dalam kaitan dengan upaya pembangunan kapasitas negara-negara anggota GNB, sesuai mandat KTT GNB Ke-11, di Cartagena tahun 1995, telah didirikan Pusat Kerjasama Teknik Selatan-Selatan GNB (NAM CSSTC) di Jakarta, yang didukung secara bersama oleh Pemerintah Brunei Darussalam dan Pemerintah Indonesia. NAM CSSTC telah menyelenggarakan berbagai bidang program dan kegiatan pelatihan, kajian dan lokakarya/seminar yang diikuti negara-negara anggota GNB. Bentuk program kegiatan NAM CSSTC difokuskan pada bidang pengentasan kemiskinan, memajukan usaha kecil dan menengah, penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam masa mendatang diharapkan negara-negara anggota GNB, non-anggota, sektor swasta dan organisasi internasional terdorong untuk terlibat dan berperan serta dalam meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan melalui NAM CSSTC. Upaya mengaktifkan kembali kerjasama Selatan-Selatan ini merupakan tantangan bagi GNB antara lain untuk menjadikan dirinya tetap relevan saat ini dan di waktu mendatang.

Munculnya tantangan-tantangan global baru sejak awal abad ke-21 telah memaksa GNB terus mengembangkan kapasitas dan arah kebijakannya, agar sepenuhnya mampu menjadikan keberadaannya tetap relevan tidak hanya bagi negara-negara anggotanya tetapi lebih terkait dengan kontribusinya dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Isu-isu menonjol terkait dengan masalah terorisme, merebaknya konflik intra dan antar negara, perlucutan senjata dan senjata pemusnah massal, serta dampak gobalisasi di bidang ekonomi dan informasi teknologi, telah menjadikan GNB perlu menyesuaikan kebijakan dan perjuangannya.  Dalam konteks ini, GNB memandang perannya tidak hanya sebagai obyek tetapi sebagai mitra seimbang bagi pemeran global lainnya.   

Dalam kaitan ini, KTT ke-15 GNB di Sharm El-Sheikh, Mesir, yang diselenggarakan tanggal 11-16 Juli 2009 telah menghasilkan sebuah Final Document yang merupakan sikap, pandangan dan posisi GNB tentang semua isu dan permasalahan internasional dewasa ini. KTT ke-15 GNB menegaskan perhatian GNB atas krisis ekonomi dan moneter global, perlunya komunitas internasional kembali pada komitmen menjunjung prinsip-prinsip pada Piagam PBB, hukum internasional, peningkatan kerja sama antara negara maju dan berkembang untuk mengatasi berbagai krisis saat ini.

Terkait dengan dampak negatif krisis moneter global terhadap negara-negara berkembang, KTT ke-15 menegaskan pula perlunya GNB bekerja sama lebih erat dengan Kelompok G-77 dan China. Suatu reformasi mendasar terhadap sistem dan fondasi perekonomian dan moneter global perlu dilakukan dengan memperkuat peran negara-negara berkembang dalam proses pengambilan keputusan dan penguatan peran PBB.

KTT ke-15 GNB menyatakan bahwa GNB mendukung hak menentukan sendiri bagi rakyat, termasuk rakyat di wilayah yang masih di bawah pendudukan. Dalam konteks itu, GNB mendukung hak-hak rakyat Palestina dalam menentukan nasibnya sendiri, untuk mendirikan negara Palestina merdeka dan berdaulat dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, serta solusi adil atas hak kembali pengungsi Palestina sesuai Resolusi PBB Nomor 194. GNB juga menolak segala bentuk pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur untuk tujuan mengubah peta demografis di dua wilayah tersebut. GNB juga meminta Israel melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB dengan mundur dari Dataran Tinggi Golan hingga perbatasan 4 Juni 1967 dan mundur total dari sisa tanah Lebanon yang masih diduduki.

Dalam bidang politik, Indonesia selalu berperan dalam upaya peningkatan peran GNB untuk menyerukan perdamaian dan keamanan internasional, proses dialog dan kerjasama dalam upaya penyelesaian damai konflik-konflik intra dan antar negara, dan upaya penanganan isu-isu dan ancaman keamanan global baru. Indonesia saat ini menjadi Ketua Komite Ekonomi dan Social, Ketua Kelompok Kerja Perlucutan Senjata pada Komite Politik, dan anggota Komite Palestina.
 
Pada tanggal 17-18 Maret 2010 telah diselenggarakan Pertemuan Special Non-Aligned Movement Ministerial Meeting (SNAMMM) on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and Development  di Manila. Pertemuan dihadiri oleh Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo; Presiden Sidang Majelis Umum PBB (SMU-PBB), Dr. Ali Abdussalam Treki; Menlu Filipina, Alberto Romulo; dan Menteri Agama Mesir, Dr. Mahmoud Hamdy Zakzouk, dalam kapasitasnya sebagai Ketua GNB; serta delegasi dari 105 negara anggota GNB.
 
Secara umum, para delegasi anggota GNB yang hadir pada pertemuan tersebut sepakat, bahwa konflik di dunia saat ini banyak diakibatkan oleh kurangnya rasa toleransi. Disamping itu banyak negara anggota GNB menjelaskan berbagai aspek ketidakadilan politik, ekonomi dan sosial yang dapat memicu timbulnya ekstrimisme dan radikalisme.
 
Menlu RI dalam pertemuan tersebut menyampaikan capaian yang dilakukan Pemri dalam diskursus tersebut. Menlu RI juga menjelaskan bahwa saat ini dunia tengah menghadapi berbagai tantangan global. Untuk itu, dengan tekad yang kuat serta didasarkan atas kesamaan nilai yang dianut, diharapkan negara anggota GNB dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat internasional dalam membangun ”global resilience” untuk menghadapi berbagai tantangan di dunia.
 
Menlu RI lebih lanjut menjelaskan pentingnya dialog antar peradaban dan lintas agama untuk meningkatkan people to people contact, menjembatani berbagai perbedaan melalui dialog dan menciptakan situasi yang kondusif pagi perdamaian, keamanan dan harmonisasi atas dasar saling pengertian, saling percaya dan saling menghormati.
 
Untuk itu, GNB seyogyanya terus melakukan berbagai upaya dan inisiatif konkrit dalam mempromosikan dialog dan kerjasama untuk perdamaian dan pembangunan. Dari pengalaman Indonesia memprakarsai berbagai kegiatan dialog lintas agama di berbagai tingkatkan, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya global dalam mempromosikan keharmonisan dan perdamaian di dunia.
 
Pertemuan SNAMMM mengesahkan beberapa dokumen sebagai hasil akhir yaitu: Report of the Rapporteur-General of the SNAMMM on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and evelopment, dan Manila Declaration and Programme of Action on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and Development.
 
 Indonesia akan menyelenggarakan 16th Ministerial Conference and Commemorative Meeting of the Non-Aligned Movement/Konferensi Tingkat Menteri ke-16 Gerakan Non Blok (KTM ke-16 GNB) dan sekaligus Pertemuan Peringatan 50 Tahun GNB di Bali pada tanggal 23 – 27 Mei 2011. Keistimewaan KTM ke-16 GNB adalah pelaksanaannya yang bertepatan dengan 50 tahun berdirinya GNB sejak terselenggaranya pada bulan September 1961 di Beograd, Yugoslavia. Oleh karena itu, pelaksanaan KTM akan pula diikuti dengan Pertemuan Peringatan 50 tahun berdirinya GNB (Commemorative Meeting).
KTM ke-16 GNB yang mengangkat tema “Shared Vision on the Contribution of NAM for the Next 50 Years” merupakan pertemuan paruh waktu antar dua KTT dan agenda utamanya adalah mengulas perjalanan GNB pasca KTT di Sharm El Sheik, Mesir pada bulan Juli 2009. KTM ini akan menghasilkan dokumen akhir yang menjadi rujukan terkini bagi anggota GNB dalam pelaksanaan hubungan internasionalnya, sedangkan Commemorative Meeting akan menghasilkan Bali Commemorative Declaration (BCD) yang berisi visi GNB ke depan.
KTM ke-16 GNB kali ini mengundang partisipasi para Menteri Luar Negeri dari 118 negara anggota GNB dan 2 (dua) negara calon anggota, yaitu Fiji dan Azerbaijan yang akan dikukuhkan keanggotaannya pada acara tersebut. Selain Menteri Luar Negeri, turut diundang pula kehadiran delegasi dari 18 negara dan 10 organisasi pengamat, serta 26 negara dan 23 organisasi undangan.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar